Rabu, 07 Mei 2014

BIMBINGAN KONSELING

Bimbingan dan Konseling (BP) Sudah terprogram berdasarkan aturan yang ada. Walaupun dengan tenaga bukan S1 BP

SARANA PRASARANA

Sarana Prasarana yang dimiliki memadai untuk Tingkatan sederajat dengan SMP. Terakreditasi BAN-S/M Tahun 2013 dengan Predikat B

KURIKULUM

Kelas 7 Kurikulum 2013

Kelas 8 dan 9 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)



4 PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO dan 5 PILAR PENDIDIKAN di INDONESIA
4 PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO dan 5 PILAR PENDIDIKAN di INDONESIA


A. Empat Pilar Menurut UNESCO


Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (2001:13) paradigma pembelajaran tersebut akan menciptakan proses belajar-mengajar yang efektif, yakni: belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

a). Konsep learning to know menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, diretor, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, danevaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya. Yusak (2003) mengatakan bahwa secara kreatif menguasai instrumen ilmu dan pemahaman yang terus berkembang, umum atau spesifik, sebagai sarana dan tujuan , dan memungkinkan terjadinya belajar sepanjang hayat.

b). Konsep learning to do menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Terkait dengan hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.

c). Konsep learning to live together merupakan tanggapan nyata terhadap arus individualisme serta sektarianisme yang semakin menggejala dewasa ini. Fenomena ini bertalian erat dengan sikap egoisme yang mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa kebersamaan dan harga-menghargai. Memahami, menghormati dan bekerja dengan orang lain, mengakui ketergantungan, hak dan tanggungjawab timbal balik yang melibatkan partisipasi aktif warga, tujuan bersama menuju kerekatan sosial, perdamaian dan semangat kerjasama demi kebaikan bersama.

d). Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Pengembangan dan pemenuhan manusia seutuhnya yang terus “berevolusi”, mulai dengan pemahaman diri sendiri, kemudian memahami dan berhubungan dengan orang lain. Menguak kekayaan tak ternilai dalam diri.
Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.



B. Lima Pilar Pendidikan di Indonesia

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II telah dibentuk dan saat ini mulai menyiapkan kebijakan untuk 5 tahun ke depan. Khusus di bidang pendidikan, saat ini dicetuskan beberapa pilar dalam pencapaian

tujuan pendidikan nasional oleh Menteri Pendidikan Nasional. Demikian disampaikan Kepala Pusat PPPPTK Matematika, Herry Sukarman, M.Sc. Ed, selaku Pembina Upacara pada Upacara Bendera 17 Desember 2009. Dalam amanatnya, lebih lanjut Kepala Pusat menjelaskan mengenai lima pilar ini yang meliputi pilar ketersediaan (availability), pilar keterjangkauan (avordability), pilar mutu (quality), dan pilar jaminan (assurance) serta kesetaraan(equity).

a). Pilar Pertama Ketersediaan adalah terkait ketersediaan layanan pendidikan yang memadai sesuai dengan standar, baik dalam kurikulum, sesumber, metode, strategi, dll.

b). Pilar Kedua adalah Keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip pemenuhan hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Untuk mendukung keter­jangkauan ini perlu didukung dengan pemanfaatan berbagai media dan teknologi.

c). Pilar Ketiga adalah Mutu. Peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian utama, bukan saja dari output dan outcome tetapi menyangkut input dan proses pendidikan.

d). Pilar Keempat Penjaminan Mutu Pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan.

e). Pilar Kelima adalah kesetaraan. Pendidikan harus menjangkau semua level masyarakat dengan tidak ada pembedaan. Indonesia adalah negara besar dengan berbagai keragaman, pendidikan harus mempu melayani semua warganya dengan setara dan tidak membeda-bedakan adanya keragaman tersebut.










EMPAT PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO

EMPAT PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO
A.        PENDAHULUAN
Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun mesti diprioritaskan. Sebab kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup di masa depan. Manusia yang dapat bergumul dalam masa dimana dunia semakin sengit tingkat kompetensinya adalah manusia yang berkualitas. Manusia demikianlah yang diharapkan dapat bersama-sama manusia yang lain turut bepartisipasi dalam percaturan dunia yang senantiasa berubah dan penuh teka-teki (Isjoni, 2008:vii).
            Berangkat dari pemikiran tersebut, Persarikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan, yakni: (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to live together, dan (4) Learning to be. Berikut ini akan kami sampaikan ulasan mengenai ke empat pilar pendidikan tersebut.

B.         MAKNA EMPAT PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO
1.      Learning to Know (belajar untuk menguasai)
Tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi.
Secara implisit, learning to know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long education). Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik didalam maupun diluar sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu untuk belajar, maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang bertanggung jawab atas pedidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
1)      Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam kandungan hingga manusia meninggal.
2)      Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu dini untuk belajar.
3)      Belajar/ mendidik diri sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian integral/ totalitas kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).
Menurut Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang identik dengan pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah tunas-tunas bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan yang terbaik untuk anak negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar. 
Guru bisa dikatakan unggul dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan tidak banyak bergantung pada orang lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai berikut:
a.       Guru berperan sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
b.      Guru  sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
c.       Guru sebagai pengelola
Guru berperan menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
a)      Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b)      Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c)      Siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement.
d)      Penguasaan secara penuh.
e)      Siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
d.      Guru sebagai demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
e.       Guru sebagai pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan. Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
a.                                                                                                             f.            Guru sebagai mediator
Guru selain dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan media dengan baik.
g.       Guru sebagai Evaluator
Yakni sebagai penilai hasil pembelajaran siswa. Dengan penilaian tersebut, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode mengajar (Fakhruddin, 2010:49-61).

Kiat-kiat Agar Menjadi Guru Favorit menurut Fakhruddin (2010:97) yaitu:
a)      Sabar
b)      Bisa menjadi sahabat
c)      Konsisten dan komitmen dalam bersikap
d)      Bisa menjadi pendengar dan penengah
e)      Visioner dan misioner
f)        Rendah hati
g)      Menyenangi kegiatan mengajar
h)      Memaknai mengajar sebagai pelayanan
i)        Bahasa cinta dan kasih sayang
j)         Menghargai proses

2.      Learning to do (belajar untuk menerapkan)
Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat/ mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industry (Soedijarto, 2010). Dalam masyarakat industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring, designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang intelligent dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan minat adalah kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat anak dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua yaitu:
1)      Lingkungan social
Yang termasuk dalam lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Lingkungan social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
2)      Lingkungan nonsosial
Factor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan cuaca. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa (Muhibbin Syah, 2004:138).
Sekolah juga berperan penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah.
3.      Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama)
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antar manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Di zaman yang semakin kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti konflik nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu didasari oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima suatu perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang  berbeda dengan penuh toleransi, dan pengertian.
Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Itulah sebabnya Learning to live together menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan jiwa perdamaian.

4.      Learning to be (belajar untuk menjadi)
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1)      Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
2)      Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.

3)      Minat
4)      Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis.
5)      Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).

C.     Garis Besar Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO
a.       Kekuatan
Ke empat pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik tidak hanya diajarkan IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan masalah, akan tetapi juga hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah maraknya perbedaan pendapat dimasyarakat. Dengan ke kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
b.      Kelemahan
Meskipun ke empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu diingat, masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut, seperti  kurangnya SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan, kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
c.       Peluang
Apabila pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka pada gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
d.      Ancaman
Ke empat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi peserta didik dan pengajar apabila tujuan atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi akan muncul sikap pesimis dan putus asa kehilangan kepercayaan diri.
D.    KESIMPULAN
Pilar-pilar pendidikan tersebut dirancang dengan sangat bagus dan dengan tujuan yang sangat bagus pula. Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi lebih baik.
Namun masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut, baik mengenai SDM nya, fasilitasnya, perbedaan pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan, dan kendala-kendala lain.
Persoalan pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama, karenanya tentu secara bersama-sama pula kita mencari alternative pemecahannya. Mudah-mudahan ke empat pilar tersebut dapat kita realisasikan dan akan nampak hasinya.
Mari melakukan introspeksi diri sejauh mana kita sudah melakukan yang terbaik untuk perubahan dan perbaikan terhadap persoalan pendidikan yang melilit negeri ini. Satu harapan kita semua, agar dunia pendidikan di Indonesia bisa menjadi lebih baik dan berkualitas.
Majulah pendidikan indonesiaku……..

DAFTAR PUSTAKA
Djamal. (2007).  Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Fakhrudin. (2010). Menjadi Guru Faforit. Yogyakarta: Diva Press.
Isjoni.(2008). Guru Sebagai Motifator Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isjoni.(2008). Memajukan Bangsa dengan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, B. (1997). Pengantar Pedagogik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Atika Aziz (2010) “4 Pilar Pendidikan Menurut UNESCO” (online) tersedia:
Http://Atikatikaaziz.Blogspot.com.2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html?m=1  (12 Maret 2012)
Aezacan (2011) “4 Pilar Pendidikan Menurut UNESCO” (online) tersedia: http://aezacan.wordpress.com (15 Maret 2012)
Soedijarto (2010) “Paradigma Pembelajaran Menjawab Tantangan Jaman” (online) tersedia: http://www.ilmupendidikan.net/2010/03/16/paradigma-pembelajaran-menjawab-tantangan-jaman.php  (12 Maret 2012)



5 PILAR PENDIDIKAN MENURUT UNESCO
5 Pilar Pendidikan UNESCO

1.      Belajar mengetahui (learning to know)
Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu bukan saja disebabkan karena adanya perkembangan yang sangat cepat dalam bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga karena perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama dalam bidang elektronika, memungkinkan sejumlah besar informasi dan pengetahuan tersimpan, bisa diperoleh dan disebarkan secara cepat dan hampir menjangkau seluruh planet bumi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh, memperdalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, mengikuti kuliah, dll. Pengetahuan dikuasai melalui hafalan, tanya-jawab, diskusi, latihan pemecahan masalah, penerapan, dll. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatakan kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dll.
Jacques Delors (1996),  sebagai ketua komisi penyusun Learning the Treasure Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat (mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil, pengetahuan mereka dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.
Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan menjadi knowing much (berusaha tahu banyak).

2.      Belajar berkarya (learning to do)
Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan didunia industri dan perusahaan terus meningkat, maka individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak).

3.      Belajar hidup bersama (learning to live together)
Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama)

4.      Belajar berkembang utuh (learning to be)
Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.

5.      Learning for improving to quality of worship to Allah SWT
Belajar meningkatkan kualitas untuk beribadah kepada Allah SWT, apa yang termuat dalam surat berikut :
•    Al Faatihah: 2 “Tuhan sebagai Penguasa/Pendidik alam semesta”.
•    Al Baqarah: 29-33
  “Bumi diciptakan oleh Allah SWT untuk manusia.”
  “Manusia diciptakan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.”
  “Manusia dikaruniai potensi yang dapat dikembangkan hingga hampir tak terbatas, yang membuat semua makhluk lain, kecuali iblis, tunduk kepada manusia.”
•    Az Zukhruf: 32 “Manusia diciptakan sebagai makhluk bhinneka agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.”
•    Al Maidah: 2 dan 48 “Bertolong-tolonganlah dalam berbuat kebajikan (interaksi koperatif)” dan “Berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan (interaksi kompetitif).”